Sebagaimana pepatah klasik:
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”
Tak banyak orang yang benar-benar siap dan memikirkan dengan matang, apa yang akan ditinggalkan sepeninggalannya kelak. Semua ikut andil dalam hiruk pikuk kontestasi kehidupan dunia yang tak ada habisnya, perjamuan hedonisme dijajakan dengan sangat menarik, penuh dengan hingar bingar materi yang memanjakan mata. Semua berfikir apa yang saya dapat, apa yang saya terima, dan tak banyak yang bisa memahami, bahwa apa yang diberikan itu lebih baik dan lebih bermanfaat kelak, terutama ketika kita sudah tak memiliki apa apa selain kain putih yang dibalut kesendirian.
Demikian sedikit gambaran bagaimana para ulama mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk menyiapkan bagaimana setelahnya kelak. Apakah kesudahan yang baik atau malah sebaliknya. Mereka faham betul, bahwa ketenaran dan segala macam materi duniawi tidak akan memberikan manfaat melebihi kebermanfaatan ilmu dan sumbangsihnya dalam kehidupan sosial.
Syekh Yusuf Qardhawi mungkin telah wafat, namun pemikiran dan sumbangsihnya dalam khazanah keilmuan Islam tak akan pernah lekang. Modernitas Islam yang mendobrak paradigma klasik dan modern, seakan memberikan angin segar dan jembatan penghubung bagi mereka yang terlalu menuhankan teks maupun akal. Saya tidak akan membahas biografi beliau yang sudah sangat banyak bertebaran belakangan ini, pun pemikiran beliau yang sudah banyak menghasilkan berjilid jilid jurnal, skripsi, tesis dan buku yang sentiasa bermunculan. Namun melihat bagaimana sebagian kita memahami, bahkan sudah merealisasikan pemikiran dan ide Syekh Yusuf Qardhawi dalam kehidupannya, sungguh sangat memberikan kepercayaan akan keberlangsungan budaya keilmuan Islam.
Adalah beliau, Dr Hj Cucu Sugiarti, M.Pd., yang kami akrab memanggilnya Bu Cucu. Mungkin satu dari sekian banyak perempuan yang benar benar mengaplikasikan bagaimana harusnya perempuan berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan gagasan Yusuf Qardhawi dalam fatwa kontemporernya. Kiprah beliau di dunia dakwah, dunia pendidikan dan berbagai lini kehidupan sosial kultural dapat memberikan oase kepada para perempuan lain untuk tetap semangat meniti karirnya.
Dalam kitabnya yang lain ‘Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah’, Yusuf Qardhawi menegaskan pandangan ini, bahwa profesi perempuan sebagai direktur, dekan fakultas,
ketua yayasan, anggota DPR, menteri, dan lain-lain tidak ada masalah selama didalamnya mengandung kemaslahatan.
Bukankah hal ini sejalan dengan apa yang Allah sampaikan dalam Qur’annya:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya” (At Taubah: 71)
laki-laki dan perempuan yang pada awalnya memiliki standar dan kedudukan yang sangat jauh berbeda dalam anggapan sebagian orang ketika melihat posisinya dalam Islam, Nyatanya malah tidak demikian. Islam menjunjung tinggi kesamaan kedudukan di mata Allah SWT, siapapun itu, laki laki maupun perempuan dengan tetap memiliki batasan batasan sesuai qodratnya. Siapapun berhak menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah pada yang mungkar. Siapapun berhak melakukan kebaikan sebanyak banyaknya. Siapapun berhak memberikan sumbangsih dan kontribusi nyata demi kesejahteraan umat. Dan tidak ada yang membedakan mereka sama sekali selain ketaqwaan kepada Allah SWT.
“kunci dari semua itu adalah keikhlasan”, tegas beliau
“ketika tujuan utamanya adalah li i’lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah), maka apapun usaha yang kita lakukan akan selalu mendapatkan kemudahan didalamnya”.
Tak terhitung sudah berapa banyak sumbangsih dan peran serta beliau dalam dunia dakwah dan pendidikan dalam membersamai almarhum suaminya dahulu hingga sekarang. Ditengah kesibukan dalam mengurus yayasan Thariq bin Ziyad yang dipimpinnya, beliau masih meluangkan waktu untuk terus mengajar diberbagai universitas, membersamai para pendidik dalam binaannya dan itu semua bisa sejalan dengan baik tanpa mengesampingkan peran utamanya sebagai seorang ibu dan nenek bagi anak dan cucunya.
Sejarah Islam mencatat, tak sedikit sosok wanita yang ikut andil dalam berbagai kegiatan yang dilakukan Nabi Shalallahu alaihi wasallam. Kita tentunya mengetahui bagaimana peran Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam bidang keilmuan, keagamaan, dan pepolitikan setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Sewaktu perjalanan
hijrah, kita melihat bagaimana Asma radhiyallahu ‘anha memainkan peran penting dalam mengamankan logistik perjalanan beliau, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ketika memberi petunjuk kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan ajakan untuk bermusyawarah bersama. Kita juga sering mendengar posisi Ummu Ammar, Ummu Salim, dan para Ummu Mukminin dalam kancah peperangan. Dari sini kita menyadari makna betapa pentingnya seorang wanita
dalam peranannya menegakkan agama Allah SWT, li i’lai kalimatillah.
Akhirnya, segala macam peran serta dan sumbangsih yang diberikan untuk jalan dakwah dan menegakan agama Islam dalam bentuk apapun, tidak pernah memberikan pengecualian pada golongan tertentu, ras, tertentu, negara tertentu, atau jenis kelamin tertentu. Semua berhak ikut andil, semua berhak berpartisipasi, tentunya tanpa mengesampingkan fungsi utama dalam kehidupan sosial kultural masing masing dan itu semua bisa selaras dengan nilai Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam, Wallahu ‘alam.
oleh Terry Arya Viratama